Religiositas atau kesalehan adalah bentuk keber-agama-an yang dicita-citakan manusia beragama. Seseorang memenuhi hukum-hukum dan peraturan-peraturan agama serta mengikuti upacara-upacara agama, karena ingin menjadi saleh. Kesalehan yang kita warisi sangat dipengaruhi pietisme. Yaitu aliran yang mengajarkan bahwa setiap orang yang percaya harus mengusahakan kesempurnaan, dan persekutuan orang percaya harus meniru jemat purba. Pertobatan, lahir kedua kali, hidup suci sangat diutamakan. Hal-hal yang dianggap duniawi kurang diperhatikan. Pembaruan dunia akan dicapai dengan pembaruan manusia. Manusia sebagai individu mendapat tempat yang sentral. Akibatnya perhatian terhadap masalah-masalah masyarakat menjadi terbengkalai.
Di dalam Perjanjian Lama tokoh kesalehan yang diidamkan adalah Ayub:”orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (1:1b). Pada zaman Yesus juga masih kedapatan orang-orang saleh seperti Zacharia dan Elisabeth “Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat” (Luk 1: 6). Istilah “benar di hadapan Allah” diartikan sama dengan “saleh.” Kaum Farisi dan Ahli Taurat adalah juga kelompok agamawan yang menjunjung tinggi kesalehan. Kritik Yesus kepada mereka adalah pembohongan diri (kemunafikan) dalam pemahaman upah, sikap tanpa kasih dalam pemisahan diri mereka dari kaum awam (orang tak berpendidikan) dan orang berdosa, kesombongan di hadapan Allah, penyamarataan ajaran-ajaran lisan manusia dengan Kitab Suci (Mat 15: 2-3, 23:2).
Kesalehan ikut juga dibentuk oleh zamannya. Pada zaman Yesus bangsa Jahudi berada dalam kekang penjajahan Roma, dalam keadaan sosial-ekonomi yang sulit, kemiskinan yang merata, jumlah pengangguran yang banyak (bdn Mat 20: 1dst). Paling sedikit dalam tiga hal orang-orang Farisi dan Ahli Taurat menonjolkan kesalehan mereka di tengah kehidupan masyarakat yang mengalami krisis. Mereka inilah yang bertahan memelihara agama Jahudi melewati kehancuran Yesruslem tahun 70. Ketiga bentuk kesalehan yang disoroti Yesus adalah memberi sedekah (”janganlah engkau mencanangkan itu, seperti yang dilakukan orang-orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong” Mat 6: 2), berdoa ( “jangan seperti orang munafik, yang suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supayan mereka dilihat orang; jangan bertele-tele berdoa” Mat 6: 6-8) dan berpuasa (“Jangan muram mukamu seperti orang munafik” Mat 6: 16-18).
Agaknya di dalam perjalanan sejarah, pada saat keadaan genting, kesalehan bisa menjadi introvert dan menciut menjadi masalah perorangan belaka, melupakan dimensi luas yang dicakupnya. Kesalehan sebenarnya mencakup dan tidak pernah lepas dari hidup bersama dalam masyarakat. Di dalam Yesaya 58 tentang “kesalehan yang palsu dan sejati”, jelas dikatakan TUHAN:”Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri” ( ay 6-7). Kepedulian akan kehidupan yang merdeka dan bebas serta berkecukupan karena sharing dengan semua orang adalah inti yang sangat menentukan dalam kesalehan.
Hal ini bergema dan paling jelas diungkapkan pada pemberitahuan tentang penghukuman terakhir dalam Mat 25: 31 – 46. Kejutan yang terjadi yang tidak diharapkan baik oleh mereka yang ada di sebelah kanan mau pun mereka yang ada di sebelah kiri raja itu adalah bukan hanya keberpihakan dari, melainkan identifikasi diri Raja Hakim itu sendiri dengan orang-orang miskin (“ketika Aku lapar, haus, seorang asing, telanjang, sakit, dalam penjara”). Dan ketidak-acuhan dan ketidak-pedulian terhadap orang-orang ini membatalkan semua kesalehan yang mengikuti aturan-aturan, hukum, kebiasaan, dan ritus-ritus agama saja. Akhirnya yang menentukan bukan apa yang terjadi pada diri sendiri, melainkan apa yang diri sendiri lakukan kepada orang lain yang menderita, miskin, tidak masuk kira. Di sini kesalehan dikembalikan ke arti yang sebenarnya, yakni ketergantungan dan keterlibatan dengan kehidupan sesama manusia dalammasyarakat.
Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa kesalehan mempunyai jangkauan yang menyeluruh. Artinya, kesalehan tidak saja menyangkut kehidupan rohani atau kehidupan agama seseorang lepas dari yang lain, melainkan selalu dalam kaitannya dengan sesama manusia dalam masyarakat yang sama, tanpa diskriminasi. Kegiatan membebaskan dan membagi (sharing) dalam Yesaya 58 bergema juga dalam Mat 25. Perbuatan yang dilakukan untuk “salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini” adalah juga protes terhadap struktur mayarakat yang menyebabkan aneka penderitaan tersebut. Dalam kaitan ini jugalah Yesus mengembalikan pemahaman sesama manusia itu kepada aslinya. Pada zaman Yesus, pemahaman mengenai sesama manusia bagi orang Jahudi adalah sesama se-bangsa dan se-agama. Hal inilah yang dikritik Yesus dalam perumpamaan tentang “Orang Samaria yang murah hati” dalam Luk 10: 25 – 37. Dalam menyebut kedua orang pertama yang melihat korban perampokan itu, seorang imam dan seorang Lewi (ay 32.33), sebagai mewakili kesalehan umum sebagai agamawan, “tetapi ia melewatinya dari seberang jalan”,Yesus mengungkapkan kesalehan formal yang tidak mempunyai dampak terhadap sesama , terutama yang menderita. Yesus meluruskan pertanyaan ahli Taurat yang rindu memperoleh hidup yang kekal itu, dari “siapakah sesamaku manusia? (ay 29b) menjadi “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? ( ay 36). Dan yang paling menentukan adalah ungkapan:”Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Bisa dibayangkan betapa dunia ini berputar dalam benak ahli Taurat yang rindu kehidupan yang kekal itu, mendengar bahwa dia disuruh meniru bukan tokoh-tokoh Israel sebagai ahli taurat, yang jelas dia hafal semua namanya, melainkan orang Samaria itu, yang sangat dibenci dan dianggap hina dan haram oleh orang Jahudi. Inilah yang disebut perombakan semua nilai-nilai warisan!
Kesalehan yang diwarisi orang Kristen Batak tidak lepas dari pengaruh kesalehan yang dibawa oleh para penginjil pertama, dalam bentuk kehidupan yang menjauhkan diri dari “hal-hal duniawi.” Oleh sebab itu, kesalehan kita banyak dalam bentuk “tidak”. Kesalehan ini juga diperkuat oleh kesalehan dari Perjanjian Lama, yang mengutamakan banyaknya larangan-larangan dan yang juga lebih menenkankan perhatian ke hal-hal rohani. Akibat dari gabungan kesalehan ini maka terbentuklah
Menjelang akhir abad yl, banyak pemikir memperkirakan bahwa dalam abad 21 ini akan bangkit kelompok-kelompok agama dalam bentuk yang fundamentalistis, eksklusif dan fanatik, serta agresif. Di dalam pemahaman kelompok-kelompok ini, sesama manusia adalah sesama anggota kelompoknya saja.
Dalam menghadapi gejala inilah gereja perlu menunjukkan bahwa pemahamnya sendiri mengenai sesama manusia adalah sesama manusia tanpa pandang perbedaan ras, bangsa, suku, budaya, bahasa, adat, status sosial-ekonomi, jender dlsb. Inilah yang disampaikan perumpamaan tentang “Orang Samaria yang murah hati” tadi. Pemahaman ini makin penting karena kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat majemuk, atau lebih tepat lagi, masyarakat multikultural, makin bertambah. Dan masyarakat multikultural yang hidup dalam era globalisasi akan makin menyadari bahwa bayak masalah-masalah yang merupakan masalah-masalah bersama, yang hanya dapat diatasi bila diatasi secara bersama-sama. Dengan kata lain, fundamentalisme, eksklusivisme dan fanatisme saja tidak mungkin menyelesaikan sesuatu masalah, yang sudah menjadi masalah bersama dalam masyarakat.
Umpamanya, masalah keadilan adalah unsur yang sangat menentukan dalam setiap kegiatan mengusahakan perdamaian. Dan keadilan adalah bagian integral dari kesalehan yang sejati. Amos memberitakan bahwa ibadah
Oleh sebab itu, ganti fundamentalisme agama, teologi harus membebaskan gereja dari perangkap kemunafikan dan kesalehan yang individualistis, untuk memungkinkan pengembangan pengakuan sesama yang universal dan untuk mendorong kerjasama menghadapi masalah-masalah bersama dalam masyarakat. Teologi adalah hasil pergumulan- rangkap dari gereja.Yaitu pada satu pihak pergumulan Gereja denganTuhannya dalam arti menghayati kebenarandan anugerah Allah di dalam Ysesu Kristus, dan di pihak lain sekaligus merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan masyarakat di tengah-tengah mana Gereja itu hidup. Pergumulan-rangkap ini tidak akan pernah selesai. Bahkan di dalam suatu zaman yang cepat berkembang dan membawa perubahan-perubahan, pergumulan rangkap ini makin dibutuhkan, bila mau hidup dengan sadar dan bertanggungjawab di tengah zaman yang cepat berubah-ubah itu.
Awal Oktober 2007
Ephorus em D.DR.S.A.E.Nababan adalah mantan ketua PGI dan Ephorus HKBP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar