Kamis, 24 Juli 2008

Runtuhnya Agama-Agama


Oleh Largus Tamur



Pengantar

Madrid, Medio Maret ‘03

Mentari belum juga kembali ke peraduannya, jam raksasa di Puerta del Sol (Gerbang Matahari) di jantung kota Madrid masih menunjuk ke angka 03 sore. Namun aneh, jalan-jalan utama Madrid terlihat sangat sepi. Walau tidak sekeras musim dingin tahun sebelumnya, dan sesekali matahari bersinar cerah menampakkan awan biru jernih musim dingin, namun Madrid seakan telah menjadi kota mati, jalanan lengang, tidak terlihat anak-anak bermain di taman, dan Cerveceria (kedai minum utamanya bir) yang biasanya ramai hari itu terlihat sepi. Salju di kejauhan yang menutupi puncak Navacerrada seolah telah berubah menjadi kafan tebal dan panjang yang menyelimuti Madrid.

Telah tiga hari, sejak 11 Maret 2003, Madrid berubah menjadi kota mati. Di mana-mana hanya terdengar tuturan kisah sedih dan tragis. Di ujung-ujung jalan, nafas kesedihan dan rona duka menggantikan ucapan “buenos días” (selamat pagi) kala langkah-langkah kaki bersua arah. Berita-berita televisi dan surat kabar hanya berisi warta duka, kecewa dan kemarahan yang tidak tahu ditujukan kepada siapa. Madrid, Barcelona, Valencia dan Sevilla serta seluruh kota di Spanyol mengadakan parade duka sekaligus mengutuk serangan fajar teroris yang meluluhlantakkan lima stasisun metro dan kereta api serta menewaskan lebih dari dua ratus manusia.

Angela, gadis 5 tahun, sore itu masih terbaring lemah di kamar 514 rumah sakit Gregorio Marañon (baca: maranyon). Di samping tempat tidurnya duduk termenung lesu kakeknya, menampakkan wajah yang makin mengerut oleh usianya yang telah 84 tahun dan mendung kesedihan yang dalam tiga hari telah menggayuti sisa hidupnya. Titik-titik hangat mulai mengaliri pipi sang gadis cilik. Ia menangis sedih dalam kesunyian. Mendung kesedihan menyelimuti hidupnya yang masih begitu belia . . . Metro (kereta bawah tanah di Madrid) yang melintas dengan kecepatan sedang. . . ibunya . . bapaknya yang menggandeng lengannya . . . teman-teman TK di Colegio Claret (Sekolah Claret) . . . masih terekam indah di ingatannya. Namun mendadak ingatannya beralih ke ledakan bertubi-tubi . . . bum . . bum . . .b . u . m . . . dari Metro yang ditumpanginya. ‘Socorro . . . soccoro . . . soccoro . . .’ teriakan minta tolong itu masih terasa begitu pedih. Dalam sekejap pegangan tangan ayahnya terlepas . . . ayah dan ibunya meninggal seketika dan Angela kecil tak sadarkan diri terkena serpihan logam badan Metro yang hancur berkeping-keping. Semuanya . . . dan semuanya . . . masih begitu jelas dan pedih di ingatannya . . . hatinya perih . . . ia kehilangan orang tua . . .ia juga kehilangan lengannya . . .Tak terasa air matanya mengalir deras membanjiri sekujur wajah dukanya . . . lalu ia meraung dalam tangisan dalam pelukan kakeknya.[1]

Peristiwa 11/ 3 Madrid (yang kemudian dikenal dengan istilah el marzo negro), 11/ S New York, bom Bali jilid 1 & 2, Ambon, Poso dan sejumlah konflik atas nama agama di tanah air membawa kita kepada gugatan penuh tanya, apa yang terjadi jika agama yang mestinya dipahami sebagai sebuah realitas terpilah (fragmentary reality), tidak utuh (partial) mengklaim kebenaran tunggal dan eksklusif, menafikan keberadaan kebenaran-kebenaran yang lain? Ke mana arah agama-agama yang menggunakan doktrin formulatif berupa ayat-ayat suci untuk merendahkan nilai kemanusiaan serta pencapaiannya dalam sejarah pergulatan nilai kemanusiaan? Apakah agama dalam dirinya sendiri (in se) mengandung kekerasan dan benih-benih kebencian? Apakah mustahil sekaligus irasional melakukan revaluasi (peninjauan kembali) doktrin keagamaan yang secara implisit juga berarti revaluasi pandangan Ketuhanan? Perendahan nilai kemanusiaan dan kehidupan kini dan di sini (hic et nunc) oleh agama inilah yang mendorong Friedrich Nietzsche, filsuf eksistensialis-atheis, ingin meruntuhkan agama lewat pengejaran dan ‘pembunuhan’ Tuhan.

Tanda-Tanda Awal Keruntuhan Agama-Agama

Tema besar yang selalu hadir dalam pergulatan dan pemikiran sepanjang zaman dan terutama di zaman ini adalah humanisme. Itu berarti humanisme menjadi kriteria apakah sebuah pemikiran, perjuangan diterima/ ditolak. Pada sisi lain, terorisme sebagai ekspresi fanatisme sangat bertentangan dengan humanisme. Karena bertentangan dengan pesan dan cita-cita besar umat manusia, maka terorisme agama dalam apapun bentuknya membersitkan sebuah pesan awal dekadensi dan runtuhnya supremasi/ dominasi agama.

Tanda-tanda awal keruntuhan agama itu telah dimulai pada pertengahan pertama dekade ini. Dua puluh satu bulan setelah kita membuka milenium ketiga, ketika penghuni bumi masih dibuai oleh cita-cita dan harapan milenium ketiga, nurani peradaban dan kemanusiaan dihancurleburkan oleh serangan teroris. Tanggal 11 September 2001 telah menjadi saat paling tragis sekaligus sepenggal waktu saksi kebrutalan radikalisme ekstrimis.

Tanda-tanda keruntuhan itu lalu dipertegas oleh munculnya gelombang radikalisme dan fundamentalisme Amerika Serikat. Dewan AS untuk Hubungan Islam-Amerika Serikat (CAIR) pada 14 Juni 2007 melaporkan jumlah kasus diskriminasi terhadap kalangan muslim meningkat 25 persen antara tahun 2005 dan 2006. Jumlah kasus dan insiden mencapai rekor tertinggi, yaitu 2.467 kasus. CAIR juga mencatat 167 laporan kejahatan yang didasarkan pada sikap anti-Muslim pada tahun 2006, atau meningkat 9,2 persen dibandingkan dengan tahun 2005. Meningkatnya jumlah kasus kekerasan yang didasarkan pada sikap anti-muslim dicatat juga oleh pusat riset The Pew. Pada Mei 2007, 53 persen umat muslim yang tinggal di AS meyakini hidup mereka menjadi lebih sulit sejak 2001 karena diskriminasi pemerintah.[2]

Fanatisme tidak hanya terjadi dalam relasi antar-agama/ ajaran, tetapi juga intra-agama dalam melihat dan menafsir kebenaran. Pada 29 Juli 1994, dokter John Britton, seorang dokter pro-choice[3] yang mendukung praktek aborsi, dibunuh di klinik aborsi Pensacola Florida oleh Pendeta Paul Jennings Hill. Yang menarik dari peristiwa ini adalah bahwa Pendeta Hill membunuh sang dokter karena ia yakin bahwa sang dokter dan yang lain yang mendukung aborsi telah melanggar hukum Tuhan (pro-life) sehingga tidak pantas hidup. Pada akhir pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya, Pendeta Hill katakan “saya sama sekali tidak menyesal, malah saya yakin akan mendapat pahala besar di surga”.

Pada kedua titik di atas, agama berubah dari jalan pencarian kebenaran, inspirasi perdamaian dan persaudaraan menuju pemutlakan identitas, jati diri yang tertutup dan soliter. Ketika agama telah berkembang ke arah identitas seperti ini maka ia menjadi ‘sebuah penjara’. Garis demarkasi yang memisahkan yang satu dari yang lain sebagai akibat dari terjebaknya agama ke dalam ‘ruang identitas semata’ meminjam istilah Mohammed Arkoun, membuat penganut agama melihat yang lain sebagai musuh yang harus ditakluk dan dibinasakan. Di sini relasi yang terbangun adalah relasi eksklusif-ritual, kelompok yang sama, seagama. Cara pandang terhadap hubungan sosial juga terbangun atas prinsip ‘kita’ dan ‘mereka’. ‘Kita’ adalah kelompok yang harus dilindungi, dipertahankan dan harus berkuasa. Sedangkan ‘mereka’ adalah kelompok lawan/ musuh yang harus dikalahkan, dipermalukan dan dikuasai. Homogenitas adalah kata kunci untuk memahami fenomena ini. Kebenaran hanya memiliki satu sisi, yaitu sisi ‘kita’ sedangkan ‘mereka’ tidak punya kebenaran.

Menyambut Fajar Kesadaran Yang Membebaskan

Tetapi apa artinya keruntuhan agama di sini? Keruntuhan agama di sini tidak berarti lenyapnya sama sekali sebuah agama, seperti yang terjadi pada begitu banyak kepercayaan kuno. Di sini runtuhnya agama-agama berarti beralihnya kiblat referensi kebenaran dan moral dari doktrin agama ke kesadaran personal. Kesadaran personal berarti pemahaman akan realitas diri, sosial maupun kosmos sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesadaran ini tidak lahir dari imposisi eksternal tetapi sebagai hasil pergulatan dan pencarian personal terhadap pertanyaan-pertanyaan yang selalu hadir dalam realitas hidup insani.

Oleh berkembangnya kesadaran personal maka posisi agama sebagai kriteria kebenaran dan moral akan terpinggirkan. Jika sampai saat ini kebenaran moral dan kehidupan ditentukan oleh seberapa jauh ia bersentuhan dengan doktrin agamis, maka di masa depan kriterianya akan terbalik: sebuah ajaran agama adalah benar dan baik sejauh itu sesuai dengan kesadaran personal dan humanis.

Dengan ini bisa dikatakan bahwa agama masa depan adalah agama personal ketimbang kolektif, lebih eksistensial dan humanis ketimbang doktrinal-transendental. Jika kesadaran personal kian berkembang maka sistem, bangunan agama lama yang membelenggu kesadaran subyek akan runtuh dengan sendirinya. Inilah aspek yang paling diagungkan Nietzsche. Ia katakan ‘temuilah dirimu baru kemudian kalian menemukan aku.’[4] Kesadaran personal menuntut agar subyek tidak sekedar agen pasif melainkan aktif. Itu artinya, apapun yang dihadapi, dialami dan dihidupi manusia termasuk beragama tidak diterimanya sebagai sebuah keterberian semata (given/ Gabe) dan warisan dari leluhur atau tradisi melainkan sebagai sebuah pencarian personal. Ia tidak lagi bergerak dalam kungkungan formalisme superfisial dalam bentuk ritual, melainkan oleh sebuah relasi intim dan personal dengan pribadi yang ia imani. Keterlibatannya dalam sebuah agama tidak semata-mata sebagai sebuah pencarian identitas melainkan sebagai sebuah persekutuan yang sadar, dekat sekaligus berjarak. Dalam kedua sikap seperti ini (dekat–berjarak) barulah subyek mampu mencapai kebenaran. Inilah agama sejati sekaligus yang membebaskan.

Largus Tamur

Setelah menyelesaikan studi filsafat di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira Kupang (2002), Penulis mendalami Teologi di Universidad Potificia Comillas Madrid Spanyol (2002-2006).



[1] Serangan teroris yang menewaskan lebih dari dua ratus orang di Madrid terjadi tanggal 11 Maret 2003. Mereka meledakkan bom di lima staisun Kereta Api, yang salah satu jalurnya penulis gunakan untuk pergi dan pulang dari kampus di bilangan Arguelles jl. Juan Alvarez Mendizabal no 65 Madrid. Angela, gadis kecil korban serangan teroris itu juga penulis kenal baik. Narasi kisah Angela sepenuhnya inovasi penulis.

[2] KOMPAS, 16 JUNI 2007, hal. 10.

[3]‘Pro-choice’ dan ‘pro-life’ adalah dua sikap, pandangan sekaligus prinsip dalam perdebatan bioetika terutama dalam dua abad terakhir ini. ‘Pro-choice’ adalah prinsip yang menegaskan bahwa dalam situasi-situasi ekstrim seperti kelumpuhan total adalah pilihan bebas sekaligus hak dasar seorang individu untuk memutuskan apa yang baik dan berguna bagi hidupnya. Itu berarti berdasarkan pertimbangan dan pilihan bebas, ia bisa melakukan euthanasia atau aborsi. Pada bandul prinsip yang lain ‘pro-life’ ditegaskan bahwa hidup dan mati manusia adalah anugerah Tuhan. Karena itu dalam situasi apapun manusia tidak berhak untuk mengambil tindakan yang melawan kehidupan itu sendiri, seperti melakukan euthanasia atau aborsi.

[4] Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (London: Penguin Books, 1969), hal. 103. Buku ini diinggriskan oleh R. J. Hollingdale dari judul asli Also Sprach Zarathustra.

Tidak ada komentar:

Alamat STT DOULOS

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI DOULOS
Kampus dan Seketariat
Jl. Tugu No. 3 Cipayung, Jakarta Timur

Telp. (021)8451727
Jl. Taman Pulo Asem Utara No. 60
Rawamangun – Jakarta Timur
Telp. (021) 70970651

Alumni STT DOULOS

Jumlah alumni STT Doulos saat ini sudah 728 orang. Para lulusannya saat ini melayani menjadi pendeta, guru agama Kristen, pendeta militer, anggota DPRD, angotta DPR-RI, wakil bupati, aktivis partai, wartawan dan penulis.

Alamat e-mail

STT Doulos; admin@sttdoulos.com

Alumni Doulos; alumni.doulos@ymail.com


Powered By Blogger

Pengasuh

Foto saya
Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Pengalaman Kerja · Saat ini Wartawan majalah Budaya Batak TAPIAN (budaya) Agustus 2007 Wartawan di Majalah Berita Indonesia (sekuler) 2005-July 2007 (sekuler) · Wartawan di Majalah Devotian (rohani) 2005 · Wartawan Majalah Industri & Bisnis (sekuler)2004, Asisten Manager di Penerbit Erlangga 2003-2004.Sirlulasi Tabloid Jemaat Indonesia (rohani)1999-2003 Pengalaman menulis di media cetak. (1)Penulis kolom opini di majalah narwastu pembaruan,Koran Batak Pos, Koran Mitra Bangsa,majalah Horas,Suara HKBP. Menulis di website; www.naiposps.com,www.kabarindonesia.com www.glorianet.org